Bacaan: KEJ. 32: 31–33: 4
“Lalu tampaklah kepadanya matahari terbit, ketika ia telah melewati Pniel…” (Kejadian 32: 31)
Seorang rabi bertanya kepada murid-muridnya, “Kapankah kita bisa yakin malam telah berganti dengan pagi hari?” Murid menjawab, “Ketika dari jarak tertentu kita sudah bisa menyebut hewan itu anjing atau kambing.” Rabi menggelengkan kepala. “O, ketika dari jarak tertentu kita dapat membedakan itu pohon ara atau pohon persik,” jawab yang lain. “Bukan!” sahut Rabi seraya berkata, “Ketika kamu bisa mengenali bahwa itu saudaramu dan bukan seterumu. Sebab ketika kau masih memusuhi saudaramu, kegelapan masih menguasaimu!”
Pagi itu istimewa bagi Yakub. Dua puluh tahun ia lewati dalam bayangan perseteruan dengan Esau. Ia merantau jauh demi menghindari kakak yang berniat membunuhnya itu. Kini mereka akan bertemu lagi. Semalam-malaman ia bergulat dengan rasa takut. Namun Tuhan melakukan intervensi, masuk dalam pergumulan itu. Bahkan mengatur perjumpaan kembali yang mengharukan keesokan harinya di kala fajar terbit. Maka, bukannya perjumpaan dua orang seteru yang terjadi, melainkan dua bersaudara dalam peluk tangis penuh kerinduan (ay. 4). Pagi yang cerah bermakna. Boleh jadi si rabi mengunduh inspirasi dari kisah dahsyat ini.
Pagi itu karunia Allah. Layak disambut dengan kepala tegak, hati bersyukur dan damai, dipenuhi pengharapan. Namun, betapa sering kita menyambutnya dengan kesal dan berat hati. Terutama apabila kita masih menyimpan kemarahan, dendam, atau kebencian yang menyesakkan. Malam tak benar-benar berlalu apabila kita masih terusik oleh beban-beban itu hingga pagi. Maka, sedapat mungkin, selesaikan segala urusan dalam damai sebelum kita pergi berbaring.
SIKAP DAN CARA KITA MENYAMBUT PAGI
AMAT MENENTUKAN WAJAH DARI KESELURUHAN HARI